Yusuf Mansur memopulerkan istilah matematika sedekah. Istilah matematika sedekah ini sendiri mengacu kepada ajaran Islam bahwa siapa yang memberikan sedekah satu kepada sesamanya, maka Allah akan melipatgandakannya menjadi sepuluh. Dari sinilah Yusuf Mansur kemudian membuat rumus demikian: sepuluh ribuan dikurangi seribu untuk sedekah, hasilnya adalah sembilan belas ribu. Jika dikurangi dua ribu untuk sedekah, hasilnya menjadi dua puluh delapan ribu.
Demikian kiranya rumus matematika sedekah yang dipopulerkan Yusuf Masur, yang tak lain merupakan intisari dari sejumlah keterangan dalam Alquran dan hadis tentang kemuliaan sedekah. Allah sendiri berulang kali menegaskan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta. Dalam pandangan awam, harta memang berkurang ketika dipakai untuk sedekah. Tetapi, dalam kaca mata keimanan tidaklah demikian. Dan Allah menggaransinya.
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri, dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan.” [QS Al-Baqarah/2: 272].
Jika kita perhatikan dengan seksama maka sebetulnya ayat di atas menggarisbawahi bahwa “harta yang baik” dan “di jalan Allah” menjadi kesatuan yang utuh. Karena, bisa jadi orang melakukan sedekah tetapi dengan harta yang tidak baik. Misalnya, membangun masjid dari praktik korupsi, mendirikan pesantren dari hasil pelacuran, membantu panti asuhan dari bisnis narkoba, dan seterusnya.
Dalam kenyataannya tidak sedikit pula orang yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk menyukseskan perbuatan atau kegiatan yang tidak baik. Lihatlah para konglomerat yang rela merogoh kocek miliaran rupiah untuk menyelenggarakan pagelaran Miss World, kandidat pemimpin yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli suara, tersangka hukum yang memberikan gratifikasi triliunan rupiah untuk menyuap hakim, dan seterusnya.
Harta tidak baik yang digunakan di jalan Allah dan harta baik yang digunakan di jalan setan, keduanya tidak bernilai sedekah di mata Allah. Sedekah harus memenuhi dua kriteria, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, yaitu harta baik yang disalurkan di jalan Allah. Itulah harta yang tidak sia-sia, karena Allah akan memberikan ganti secara berlipat ganda.
Janji Allah tidak pernah dusta. Kewajiban orang beriman adalah meyakininya dengan segenap hati. Rasulullah sendiri pernah menginformasikan, “Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki suatu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya’. Sementara yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya’.” [HR Bukhari dan Muslim].
Dalam hidup sehari-hari mengelola harta terbukti bukan perkara mudah. Harta kerap mendatangkan keberuntungan, tetapi, jika salah menggunakan, harta justru menghasilkan kebuntungan. Karena itu, Islam memberikan panduan lengkap seputar cara mengelola harta agar kepemilikan harta berujung keberuntungan, bukan kebuntungan. Salah satunya adalah lewat ajaran sedekah. Harta yang disedekahkan, itulah harta yang sebenarnya, karena akan kekal sampai di alam baka. Yang berada di tangan tidak lain akan menjadi hak ahli waris.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Serentak para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, tiada seorang pun dari kami, melainkan hartanya adalah lebih dicintainya.” Beliau kemudian bersabda, “Sungguh harta sendiri ialah apa yang telah terdahulu digunakannya, sedangkan harta ahli warisnya adalah segala yang ditinggalkannya (setelah dia mati).” [HR Bukhari dan Muslim].
Hadis di atas, dengan demikian, secara tidak langsung mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita sebenarnya hanya titipan Allah. Supaya manfaatnya masih dapat dirasakan sampai kita kembali ke akhirat, maka harta itu harus dinafkahkan di jalan kebaikan semasih hidup di dunia. Lebih membahagiakan, balasan Allah bahkan sering tidak harus menunggu di akhirat, tetapi langsung Dia tunaikan ketika kita masih hidup di dunia berupa rezeki yang melimpah.